Nusrasuara.com – Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Nusa Tenggara Barat (NTB) mendesak pemerintah untuk mengevaluasi penerapan sistem lelang proyek fisik menggunakan mekanisme swakelola tipe 1.
Sistem itu dinilai memiliki berbagai kelemahan yang dapat mengganggu kelancaran pelaksanaan proyek konstruksi serta membuka peluang besar terjadinya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Ketua Umum Gapensi NTB, H. Agus Mulyadi, menjelaskan bahwa mekanisme swakelola tipe 1 memberikan kewenangan besar kepada pejabat pembuat komitmen (PPK) untuk menentukan penyedia barang atau jasa, yang dapat menimbulkan potensi penyalahgunaan wewenang.
Ia mengungkapkan bahwa dalam sistem ini, PPK memiliki kekuasaan mutlak dalam menunjuk penyedia barang atau jasa tanpa melalui proses kompetisi yang ketat, sehingga berisiko menciptakan kongkalikong yang merugikan proyek dan negara.
“PPK memiliki kekuasaan mutlak dan atau secara subyektif menunjuk penyedia. Ini membuka peluang terjadinya kongkalikong dan penyalahgunaan wewenang,” tegasnya.
Risiko Penyalahgunaan Wewenang dan Kasus OTT
Agus juga mencontohkan kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan Kepala Bidang SMK, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang menunjukkan bahwa sistem ini memiliki potensi penyalahgunaan kekuasaan yang besar.
Ia mengungkapkan bahwa kasus OTT tersebut hanya merupakan salah satu contoh dari potensi penyimpangan yang lebih besar jika sistem ini tetap diberlakukan tanpa adanya evaluasi menyeluruh.
“Sistem swakelola tipe 1 bisa membuka celah besar bagi penyalahgunaan kekuasaan. Ini sangat berbahaya bagi kelancaran proyek konstruksi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran,” ujar Agus.
Penerapan Swakelola Tipe 1 dan Masalah Transparansi
Swakelola tipe 1 merupakan mekanisme pelaksanaan proyek yang dilakukan secara mandiri oleh instansi pemerintah, tanpa melibatkan pihak ketiga seperti kontraktor.
Dalam sistem ini, seluruh proses—mulai dari perencanaan hingga pengawasan—dilakukan oleh instansi pemerintah yang bersangkutan.
Agus mengkritisi beberapa aspek dari sistem ini, terutama dalam hal transparansi dan akuntabilitas. Dalam banyak kasus, pengadaan material untuk proyek konstruksi diserahkan langsung kepada toko bangunan atau pihak tertentu yang ditunjuk oleh PPK.
Hal itu memunculkan masalah ketidakselarasan antara pengadaan material dan kebutuhan di lapangan, yang pada gilirannya dapat menghambat kelancaran proyek.
“Kontraktor seharusnya mengelola seluruh proses proyek, mulai dari pengadaan material hingga pelaksanaan. Pemisahan kewenangan ini justru menimbulkan miskomunikasi dan menghambat kelancaran proyek,” kata Agus.
Usulan Gapensi NTB untuk Evaluasi Sistem Swakelola
Gapensi NTB menyarankan agar pemerintah pusat dan daerah meninjau kembali kebijakan mengenai penerapan sistem swakelola tipe 1.
Agus mengusulkan untuk kembali menggunakan mekanisme yang lebih transparan dan adil, seperti yang diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Jasa Konstruksi. Keppres ini dianggap lebih mampu meminimalisir praktik KKN karena melibatkan saksi dari berbagai pihak dan menjalani proses yang lebih terbuka.
“Penerapan mekanisme yang lebih transparan sangat penting untuk menjaga integritas pelaksanaan proyek konstruksi. Kami sudah berkoordinasi dengan Gapensi pusat untuk menyuarakan hal ini kepada pemerintah,” ujarnya.
Gapensi NTB berharap agar evaluasi dan revisi terhadap sistem swakelola tipe 1 dapat dilakukan secepatnya demi menjaga kelancaran pelaksanaan proyek dan menghindari praktik-praktik yang merugikan negara serta masyarakat.
Potensi Perubahan Positif dalam Pengadaan Konstruksi
Kritik dan saran yang disampaikan Gapensi NTB merupakan upaya untuk mendorong sistem pengadaan jasa konstruksi yang lebih baik, efisien, dan bebas dari praktik KKN.
Dalam jangka panjang, perubahan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas proyek konstruksi di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan seluruh Indonesia, serta memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara.
Dengan langkah evaluasi yang tepat, diharapkan sektor konstruksi dapat berkembang secara sehat, mengurangi risiko penyalahgunaan kekuasaan, dan memberikan manfaat optimal bagi masyarakat serta perekonomian daerah.